Tak bisa saya pungkiri, setiap musim kemarau tiba di Provinsi Riau tempat saya lahir membuat diri ini menjadi waspada. Maklum saja, hingga umur sekarang saya merasa adanya dampak perubahan iklim yang sangat signifikan.
Kalau mengingat ke belakang pada tahun 1997, 2013, 2015 dan 2019 pastinya bikin kesal. Bagaimana tidak bencana kabut asap yang terjadi pada tahun-tahun tersebut membuat berbagai aktifitas saya dan warga di bumi lancang kuning terhenti. Kategori tahun-tahun itu termasuk yang parah.
Pada tahun 1997 bencana yang bersumber dari kebakaran hutan yang terjadi di provinsi Riau ini pada akhirnya berhasil membuat saya berhenti dalam hal melaksanakan proses belajar mengajar di sekolah. Kami dipulangkan lebih cepat karena kondisi kabut asap hasil pembakaran lahan sangat menghawatirkan. Mau tak mau sekolah harus ditutup, pembelajaran dihentikan dan kami harus diliburkan.
Kebakaran hutan pada tahun 1997 tersebut juga menjadi puncak kebakaran hebat dam menyisakan sesak di dada karena kebakaran yang terjadi kawasan hutan alam yang memang dahulu masih banyak di provisi Riau.
Pada tahun ini seingat saya dampaknya cukup parah, termasuk kalau tidak salah ada pesawat yang jatuh karena jarak pandang hingga kabut asap yang sampai ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Malahan kalau tidak salah dari televisi saya sempat mengetahui jika asap sampai ke Australia.
Kebakaran hutan yang terjadi selanjutnya tentu lebih memberikan efek dan dampak yang luar biasa bagi kesehatan masyarakat. Sebab yang namanya hutan di Riau sudah tidak ada lagi. Dengan sisa hamparan lahan gambut saja yang mana jika terbakar mampu menyulut dampak negatif yang sangat luar biasa untuk lingkungan dan makhluk hidup.
Kondisi ini turut memperparah, di mana kebakaran lahan yang terjadi tak akan mudah dipadamkan dengan cara apa pun, mengingat kondisi dari lahan gambut yang mudah terbakar mempunyai kedalaman sampai lima meter.
Berbicara kerugian, selain hutan tentu saja juga saya terkena dampaknya. Bersama masyarakat Riau kami cukup bersabar, termasuk para petugas pemadam kebakaran hutan yang berjibaku memadamkan api. Mau tak mau kebakaran hutan dan lahan yang terjadi turut berdampak kepada rusaknya ekosistem dan membuat flora dan fauna yang tumbuh dan hidup di kawasan hutan menjadi musnah.
Dari jejak perjalanan hidup semenjak mengenal dunia hingga sekarang, bumi lancang kuning yang menjadi tempat saya bernaung hampir tiap tahun selalu mengalami kebakaran hutan dan lahan. Warganya banyak mengalami beragam kerugian materil ataupun moril. Timbul penyakit yang merugikan warga seperti penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), Penyakit Paru Obstruktif Kronik, Asma, Penyakit Jantung serta yagn sederhana seperti iritasi pada mata, tenggorokan dan hidung. Dampaknya juga membuat adanya korban jiwa, kerugian pada sektor ekonomi, mengganggu bidang transportasi hingga masalah pendidikan yang mau tak mau turut terkena dampaknya.
Paling nyata yang saya rasakan akibat asap dan emisi gas Karbondioksida dan gas lainnya ke udara yang tersebar turut berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim pada bumi. Kebakaran hutan dan lahan sudah pastimembuat hutan semakin gundul. Akibatnya tak bisa lagi menampung cadangan air pada saat musim hujan datang. Keadaan ini tentu saja bisa menyebabkan tanah longsor ataupun banjir. Keadaan semakin parah saat kebakaran hutan dan lahan turut membuat berkurangnya sumber air bersih dan bencana kekeringan, karena pohon-pohon sudah tidak ada lagi untuk menampung cadangan air.
Dilihat dari perkembangan bencana yang terus menerus terjadi ini, mungkin kebakaran hutan yang diakibatkan alam mungkin hanya 1 % saja. Sisanya ? semua orang yakin 99 % diakibatkan oleh ulah manusia yang menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Dalihnya tentu beragam, alasan klasik semisal membuka lahan baru, adanya perubahan status fungsi hutan menjadi perkebunan, replanting sawit, segudang alasan faktor ekonomi masyarakat dan bermacam alasan lainnya yang menjadi penyebab kebakaran hutan berulang kali.
99 persen karhutla adalah ulah manusia baik yang disengaja atau tidak disengaja karena kelalaian, motif utamanya selalu satu, ekonomi
Presiden Indonesia – Joko Widodo
Ditambah bencana yang menjadi lebih besar karena adanya perusahaan-perusahan atau korporasi yang turut andil dalam kegiatan – kegiatan ini, didukung dengan pemerintah kucing – kucingan yang menerbitkan izin konversi lahan, tak jarang membuat kebakaran hutan yang terjadi terus semakin luas.
Bumi yang semakin tua dan sekarat
Dulu saya tak pernah berifikir jika kebakaran lahan yang terjadi bisa membuat bumi semakin sekarat dan tua. Hal ini saya ketahui saat mengikuti sebuah acara tahun 2019 lalu tentang dampak perubahan iklim.
Kepedulian saya terhadap bumi dan lingkungan semakin terpompa semenjak mengikuti forum tersebut. Membuat saya memiliki keinginan untuk terus berjuang demi daerah tempat saya tinggal jauh dari pembakaran hutan. Saya setuju jika bencana – bencana yang hadir dan terjadi seperti kebakaran lahan, banjir, longsor diakibatkan oleh kegiatan – kegiatan manusia yang tamak dan berlebihan. Bertambahnya emisi gas rumah kaca mau tak mau turut membuat pemanasan global berdampak pada bumi yang semakin sekarat beserta elemen di dalamnya.
Bahkan jika berbicara secara global dampak perubahan iklim cukup tinggi. Banyak negara-negara yang mengalami cuaca ekstrem akibat dampak. Sebagai contoh negara adidaya Amerika Serika beberapa tahun terakhir harus menderita akibat cuaca ekstrem, yang mana suhu negara mereka terus turun hingga -40 derajat celcius. Ini juga akibat akibat suhu global yang terus memanas.
Negara kangguru Australia juga turut mengalami cuaca ekstrem, yang mana suhu panas bisa mencapai +50 derajat celcius. Serba salah, dingin menggigil dan panas biking meriang.
Data dari The Climate Reality Indonesia pada tahun 2018, secara global semua benua yang ada di bumi terkena dampak perubahan ini. Nilainya mencapai 60 Juta orang dan termasuk negara kita yang sejak 2018 sudah mendapatkan bencana sebanyak 2481 kasus. Kasus-kasus itu diantaranya ada 97% hidrometeorologi dan 10 Juta orang yang harus menderita dan mengungsi. Tampak jelas jika banyak bencana alam yang terjadi diakibatkan adanya perubahan ekosistem. Entah itu bencana longsor, banjir dan banyak bencana lain selalu menghantui negara ini. Di beberapa daerah malah kerap terjadi kekeringan padahal sudah masuk masa musim penghujan.
Perubahan ini juga terjadi di tempat saya. Bukan banjir bandang ataupun rawan kekeringan, tetapi bencana kabut asap akibat dari kebaran hutan yang meluas dan terus terjadi. Ibarat ikan Salai di asap saya dan seluruh warga Riau terus terpapar oleh asap, tetapi terus berusaha berjuang untuk tetap hidup dan sehat. Dan pastinya Pekanbaru semakin panas!
Penyebab Perubahan Iklim
Kalau berbicara penyebab tentu ada banyak hal yang melandasinya. Tapi jujur saja ini semua karena ulah manusia yang tamak dan rakus yang mana melakukan eksploitasi sumber daya alam secara belebihan. Selain itu juga disebabkan oleh adanya emisi gas rumah kaca, pemanasan global dari industri yang turut membuat perubahan iklim yang berdampak bencana dan penghidupan kepada setiap komponen yang ada di bumi.
Hasil sebuah survei YouGov pada tahun 2020, mendapati beberapa penduduk dari berbagai negara mengamini adanya perubahan iklim. Tetapi menurut mereka perubahan iklim yang terjadi bukanlah menjadi tanggung jawab manusia. Bahkan sebagian penduduk lainnya yang mengikuti survey ini beranggapan saat ini dunia tak mengalami perubahan iklim.
Yang bikin kecewa dari hasil survei tersebut adalah ketika negara kita berada di posisi paling atas dengan penduduk yang menganggap perubahan iklim terjadi bukan karena ulah manusia. Hal ini diakui oleh 18% responden. Sedangkan yang menilai iklim saat ini tak berubah hanya 3% responden. Dengan demikian total kedua tanggapan tersebut sebesar 21%, sekaligus menjadi yang paling besar dibandingkan negara lainnya.
Ada berbagai sektor yang menambah perubahan iklim secara global. Sebagai contoh pada bidang industri pertanian yang memberi dampak kebakaran hutan karena perluasan lahan, atau merubah fungsi hutan dengan membakar (karena lebih murah). Emisi gas rumah kaca menjadi pemicu perubahan iklim, di mana 30% nya berasal dari pembuatan atau produksi dan konsumsi pangan di taraf global. Nilai 30% ini sudah termasuk pada proses produksi pupuk, pengolahan, pertanian, transportasi, ritel, pengelolaan makanan rumah tangga dan tentunya juga pembuangan limbah.
Industri energi juga turut demikian. Hasil bumi semisal batu bara dan minyak bumi terus di ambil tanpa henti. Industri – industri bidang transportasi pun sama, masih kurang dan belum menggunakan energi terbarukan, hingga kini masih banyak menggunakan bahan – bahan energi yang tidak ramah dengan alam.
Ada banyak juga industri – industri lain yang juga turut memberikan andil dalam perubahan iklim dan menambah emisi gas rumah kaca. Perlu tindakan khusus, nyata dan upaya agar bencana tidak terus kembali terjadi. Jangan sampai juga perubahan iklim yang terus menjadi hangat membuat mencairnya permafrost (lapisan es yang tetap membeku di bawah tanah di daerah kutub) terus menerus.
Penyalahgunaan lahan/ kehutanan menyumbang 61,6% emisi gas rumah kaca. Tentu saja itu bukan angka yang kecil, hutan tidak digunakan sebaiknya dan menjadikannya sebagai elemen penting bumi yang harus dijaga. Apalagi hutan sebagai sumber paru – paru dunia, juga sebagai sumber ketahanan pangan. Selain hutan, asal emisi berasal dari industri energi, pertanian, limbah, berbagai macam industri dan penerbangan/perkapalan.
Faktor lain yang juga turut andil dalam memberikan dampak pada perubahan iklim adalah energi yang digunakan dalam tahap pembuatan makanan. Apakah dalam pembuatannya menggunakan cara organik atau dengan menggunakan bahan kimia. Selain itu bagaimanan dan seberapa jauh panjangnya pengolahan makanan tersebut hingga sampai ke meja makan.
FYI masakan dan makanan yang diproduksi lebih dekat ke tempatnya dikonsumsi akan mengeluarkan emisi lebih sedikit terkait transportasi, lebih segar, dan membantu produsen lokal. Dengan adanya pengurangan jarak tempuh makanan tadi, berkurang pula kebutuhan untuk mengolah atau mendinginkannya guna mengurangi pembusukan.
Walaupun memang jika dilihat secara realita di lapangan, hingga kini terdapat bahan makanan di mana secara kuantitatif dan kualitatif tak mencukupi untuk suatu kawasan, sehingga perlu didatangkan dari provinsi dan kabupaten/ kota lain yang berjarak lebih jauh hingga bahkan ada yang melalui proses impor.
Tentunya dengan memahami bagaimana sumber daya yang digunakan dalam membuat dan mengolah makanan tentu akan membuat para konsumen lebih aware terhadap sangkut paut antara makanan dan perubahan iklim sehingga hasil dan pilihan yang diambil akan lebih ramah dengan iklim bumi.
Oh iya, dari beberapa webinar atau forum yang saya ikuti, ternyata produksi fashion turut menjadi salah satu pencemar, penyumbang dan pembuat perubahan iklim terbesar di dunia. Industri ini berhasil menyumbang 10% emisi karbon global. Dihitung mulai dari dari proses menciptakannya, membuat hingga bisa digunakan pada produksi di pabriknya.
Pengolahan dan produksi yang dilakukani ikut andil dalam memperparah global warming yang terjadi dewasa ini. Emisi yang dihasilkan berasal dari asap produksi pabrik pakaian yang membuat polusi aan mencemari air, lingkungannya.
Ini adalah penyumbang global warming yang terbesar kedua setelah industri minyak bumi. Dikutip dari Forbes 2015, yang paling jahat ada banyak pepohonan yang harus menjadi korban hilangnya kelestariannya hanya untuk membuat dan menghasilkan bahan kain seperti viscose, rayon, lyocell, dan modal. Sebesar 70 juta pohon lebih yang terus ditebang untuk mengikuti kebutuhan tren manusia agar tampil keren dan fashionable tiap harinya.
Perubahan Iklim yang Aku Rasakan!
Jujur saja mau tak mau saya harus tetap tinggal di kota Pekanbaru, Riau ini. Meski sudah sering menikmati dan merasakan secara langsung efek dari kegiatan – kegiatan yang merugikan alam. Bagaimana tiap tahun kami yang berada di Riau terus berusaha dan waspada menghadapi kebakaran hutan dan asap.
Kebakaran hutan (Karhutla) di lahan gambut provinsi Riau dan juga daerah lainnya di Indonesia tentunya merugikan banyak pihak. Mulai dari banyak luasnya area hutan yang terbakar hingga biaya-biaya lain yang harus di keluarkan untuk menyelesaikan kebarakan hutan ini. Padahal dari pertama kita menginjakkan kaki di bangku sekolah, keberadaan hutan selain sebagai penghasil oksigen juga mampu menyerap karbon dioksida yang ada di udara menjadi penyeimbang ekosistem yang kita miliki.
Bahkan saat ini bumi lancang kuning telah ditetapkan status siaga darurat penanggulangan bencana karhutla Tahun 2022 yang terhitung mulai tanggal 21 Maret hingga dengan 30 November 2022.
Di bumi lancang kuning, deforestasi, degdarasi hutan dan adanya konversi hutan terus terjadi. Deforestasi membuat perubahan permanenpada yang awalnya areal berhutan menjadi areal tidak berhutan atau tutupan lainnya sebagai akibat dari aktifitas manusia. Selain itu turut terjadi degradasi hutan yang mana bisa dikatakan sebagai bentuk perusakan atau penurunan kualitas hutan (tutupan, biomasa dan/atau aspek lainnya).
Selain itu juga ada konversi hutan yang terus menerus Di Riau. Konversi yang dilakukan dalam skala besar penebangan hutan yang dilkukan secara massive ataupun secara liar (ilegal log). Ini terus terjadi, apalagi untuk di jadikan hutan taman industri atau lahan konsesi dengan merubah fungsi hutan menjadi perkebunan seperti sawit, karet, akasia dan lainnya. Ya Riau memiliki perkebunan sawit rakyat terbesar di tanah air dan dunia, bahkan sampai sawahpun bisa berubah statusnya menjadi areal sawit.
Sayangnya sebagian besar perkebunan sawit di bumi lancang kuning di tanam diatas lahan gambut. Fyi lahan gambut Riau terbesar di Sumatera (5 Juta Hektar) dan rata – rata lahan tersebut dalam kondisi kritis. Perubahan lahan di hutan rawa gambut telah merusak ekosistem.
Perubahan lahan dan hutan membuat berkurangnya bio masa (hilang/ menurunnya penyerapan CO2 di udara).
Salah satu kabupaten di Provinsi Riau, Siak juga turut menjadi kawasan yang terimbas perubahan lahan. Lahan pertanian mulai berubah dimana pada awalnya banyak lahan pertanian/ sawah namun kini banyak berkurang. Lahan sawah tersebut perlahan menjadi perkebunan sawit sehingga mengakibatkan banyak warga yang terkena dampaknya dan dirugikan, mulai dari sisi ekonomi hingga ekosistem di sekitar lahan sawit.
Semua karena apa ? semua karena kurangnya kepedulian pemerintah dan masyarakatnya sendiri sehingga bukan tidak mungkin ini bisa saja menyebabkan instabilitas politik dan sosial yang menjadi bagian sistem global rentan iklim.
Konversi hutan di Riau berkontribusi membawa dampak pemanasan global dan perubahan iklim yang mana turut menimbulkan kerugian material dan immaterial bagi seluruh warga di bumi lancang kuning.
Kecewa, kecewa karena Pemerintah lalai dan memberikan izin cuma-cuma dalam menerbitkan Izin Usaha Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) di areal hutan alam dan lahan gambut.
Kejadian ini tak hanya terjadi di Riau tapi turut terjadi di Papua. Berdasarkan data Badan Planologi KLHK, Papua juga turut mengalami deforestasi hebat. Total deforestasi dalam kurun waktu 5 tahun sejak 2017 sebesar 773.590,84 Hektar dengan rata – rata 193.397,71 Hektar.
Baik hutan Riau dan hutan Papua harusnya merupakan hutan alam di Indonesia yang menjadi rumah bagi jutaan mahluk hidup. Keberadaan hutan tak hanya sebagai bagian dari pemulihan alam, tetapi juga menopang masyarakat lokal secara kultural.
Kalau di atas kita sudah berbicara skala besar, ada pula skala kecil. Konversi dalam skala kecil biasanya dilakukan oleh masyarakat misalnya untuk membuat ladang (berpindah), pertanian lahan kering atau membuat kebun juga menunjang berbagai kegiatan masyarakat lainnya.
Kebakaran hutan yang terjadi di Riau tentu bukan satu-satunya bencana yang hadir yang menambah dampak perubahan iklim. Masih ada contoh lainnya seperti banjir bandang, longsor ataupun bagaimana satwa seperti harimau bisa menyerang pemukiman penduduk.
Akibat pembangunan infrastruktur yang tidak melihat lingkungan dan kawasan juga turut membuat bencana banjir hadir, meski memang pemberitaan banjir ini tidak sampai masuk media nasional. Kota Pekanbaru ibukota provinsi yang kini juluki sebagai kota “Berkuah”, padahal seharusnya kota ini menjadi “bertuah”.
Pada sektor kesehatan juga tidak bisa dianggap remeh. Perubahan iklim juga bisa berpengaruh pada peningkatan risiko penularan, lebih khusus penyakit demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru, kasus DBD cendrung mengalami lonjakan sejak di awal tahun 2022. Ada kenaikan kasus mencapai 113 kasus pada Januari 2022 kemarin. Bahkan dari ratusan kasus yang terjadi, satu pasien DBD di Kecamatan Payung Sekaki meninggal dunia akibat terlambat mendapatkan penanganan medis.
Pandemi dan Solusi Mengurangi Dampak Perubahan Iklim
Walau bagaimana pun, penyebab, akibat dan dampak dari perubahan iklim secara global bisa dicari bagaimana cara mengatasinya. Diantaranya dengan melakukan upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi dengan melakukan upaya , memperlambat proses perubahan iklim, juga dengan mengurangi level gas-gas rumah kaca di atmosfera dan mengurangi emisi dari kegiatan manusia. Sebaliknya melalui adaptasi adalah mengembangkan berbagai cara untuk melindungi manusia dan ruang dengan mengurangi kerentanan terhadap dampak iklim dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim global.
Sebagai contoh semenjak pandemi terjadi beberapa tahun belakangan nyatanya cukup berdampak positif pada iklim bumi. Hal-hal negatif seperti emisi karbon yang biasanya membuat bumi menjadi menderita karena pemanasan global sedikit berkurang karena aktifitas manusia yang mulai beralih berkegiatan dari rumah.
Kebakaran lahan yang terjadi jauh berkurang jika dibandingkan tahun sebelumnya. Bersyukur sekali di saat pandemi ini juga tidak menggunakan masker untuk menghindari asap kebakaran lahan. Cuma ya banjir tetap ada sih..
Bagi diri sendiri ada banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim meski lebih sering dianggap remeh oleh orang-orang di sekitar. Padahal, kalau mereka juga ikut melakukan aktivitas positif disekitar mereka tentunya bisa berdampak lebih baik lagi buat bumi dan dalam beberapa tahun ke depan bukan tidak mungkin akan terlihat perubahannya.
Saya pribadi mencoba melakukan sustainable living atau gaya hidup ramah lingkungan dengan mencoba untuk melakukan pembatasan penggunaan sumber daya bumi dan penggunaan beragam produk yang memiliki dampak buruk untuk lingkungan. Kalau 1 orang berhasil mengajak 1 orang lainnya, bukan tak mungkin orang yang sudah di ajak tersebut juga berhasil mengajak 1 orang lainnya. Semata-mata langkah yang dilakukan ini untuk melindungi bumi dan sumber dayanya guna kehidupan berlanjutan untuk yang lebih baik pada saat ini maupun di masa mendatang.
Ada beberapa aktivitas positif yang unik atau luar biasa yg saya lakukan dan bisa teman coba #UntukmuBumiku Untuk memaksimalkan upaya ini kamu harus tahu juga agar dapat berpartisipasi.
- Penghijauan
Penghijauan biasanya dilakukan di hutan karena adanya banyak penebangan pohon. Namun kamu dapat melakukan penghijauan di lingkungan terdekat yaitu lingkungan rumahmu sendiri. Jika memungkinkan tanam pohon dimanapun bisa ditanam.
Dengan adanya tanaman yang tumbuh subur, dapat mengurangi pemanasan global yang ekstrem ini. Ketika pohon melakukan fotosintesis, akan banyak menyerap karbon dioksida dan kemudian mengeluarkan oksigen yang sangat bermanfaat untuk manusia.
Ya paling tidak ini bisa bermanfaat untuk kamu, keluarga atau tetangga di kawasan kamu tinggal. Saya sendiri merasakan dampaknya, dan membuat suhu kawasan rumah saya tidak begitu panas.
Jika kamu mengikuti sebuah komunitas malah lebih baik lagi. Bersama teman-teman satu komunitas kamu bisa mencoba melakukan program penanaman bibit pohon Bersama. Kamu juga bisa bekerja sama dengan pemerintah setempat atau stakeholder untuk mengetahui di mana saja lokasi/ Kawasan yang dianggap tepat untuk menanamnya. Sebagai contoh di pinggiran sungai atau beberapa tempat lainnya.
Pastikan pula kegiatan yang kamu lakukan berkelanjutan, sebab menanam saja tanpa memelihara sama dengan bohong.
- Lakukan 3R
Oh iya 3R disini bukan berarti ukuran foto ya. 3R yang saya maksud adalah reduce, reuse dan recycle yang dapat dilakukan siapa saja untuk menyehatkan bumi.
Reduce dengan meminimalkan penggunaan plastik dalam hal apa saja. Reuse dapat dilakukan dengan memilih produk yang dapat digunakan kembali tapi tetap aman dan sehat.
Sedangkan recycle dapat kamu lakukan dengan mendaur ulang barang yang dapat digunakan kembali. Ada banyak cara kreatif agar system recycle ini berjalan secara maksimal. Bahkan ada beberapa yang menjelma menjadi produk yang bermanfaat dan dapat dijual.
Saya biasanya memilih produk yg dapat didaur ulang. Selain itu saya juga mengurangi penggunaan tissue dan beralih menggunakan pakaian bekas. Cara lainnya adalah melakukan pengolahan sampah organik menjadi kompos. Kegiatan pengolahan ini rutin saya lakukan semenjak WFH saat awal pandemi, namun karena keterbatasan waktu kegiatan positif ini malah loncat-loncat ketika saya mulai kembali aktif bekerja di kantor.
- Membuat Lubang Biopori
Membuat biopori atau lubang resapan dapat membantu mempengaruhi jumlah air tanah serta bantu cegah banjir. Cara kerja lubang peresapan biopori tentunya sangat simple. Lubang yang sudah kita buat, lalu diberi/ dimasukkan sampah organik yang akan menimbulkan biota tanah semisal cacing, semut atau akar tanaman yang bekerja membuat rongga-rongga (lubang) di dalam tanah. Hal inilah yang disebut biopori di mana rongga-rongga ini menjadi saluran untuk air dalam melakukan persapan ke dalam tanah.
Beberapa manfaatnya antara lain mampu mengatasi banjir, sebagai tempat pembuangan sampah organik, penyubur tanaman, menambah daya resap air di lingkungan rumah, membuat tanah semakin sehat karena aktivitas biota tanah serta meningkatkan area hijau.
Saya sendiri hingga saat ini masih terus belajar dalam mengenal biopori. Karena saya pertama kali mengetahui sistem ini dari beberapa orang teman.
- Mengurangi Penggunaan AC
Menggunakan pendingin ruangan atau AC menggunakan penggunaan listrik yang berlebih. Terutama pada bahan bakar fosil yang akan menghasilkan tenaga. Pendingin utama dalam AC adalah senyawa organic yang disebut dengan Hydrofluorocarbon atau HFC.
Perlu diketahui HFC ini jauh lebih kuat dibandingkan karbon dioksida. Dengan penggunaan secara terus menerus akan memperparah perubahan iklim global. Langkah utama yang dilakukan dengan mengurangi penggunaan AC. Gunakan AC alami atau buat rumah dengan sirkulasi udara memadai.
- Mengurangi Penggunaan Kendaraan Bermotor
Langkah berikutnya dalam mengurangi perubahan iklim dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Jika akan bepergian ke tempat tidak terlalu jauh dapat menggunakan sepeda atau jalan kaki (meski memang terkadang infrastruktur tidak mendukung). Namun, apabila harus menggunakan kendaraan bermotor, dapat dilakukan sehemat mungkin.
Gunakan kendaraan pribadi secara praktis dan seperlunya saja. Sekarang ini sudah banyak negara maju melakukan gebrakan untuk menggunakan baterai kendaraan dan tidak menggunakan bahan bakar fosil sama sekali.
Oh iya cara sederhana lainnya adalah dengan mematikan motor saat melakukan antrian pengisian bahan bakar. Jadi tinggal dorong aja ya.
- Hemat Air dan Listrik
Sederhana saja, hemat air dapat kamu lakukan mulai sekarang. Misalnya saja saat akan mencuci piring atau kendaraan jangan dengan air mengalir. Penghematan air yang dilakukan dapat mengurangi penggunaan listrik secara berlebihan.
Tak bisa dipungkiri listrik sudah hampir menjadi kebutuhan esensial terutama dalam rumah tangga. Cara paling sederhana dalam melakukan penghematan energi listrik adalah dengan mencabut perangkat-perangkat elektronik dari aliran listrik jika tidak digunakan. Mencabut charge smartphone yang tidak digunakan atau mematikan laptop jika memang tidak digunakan.
- Tidak Menggunakan Plastik
Mencoba mulai mengurangi konsumsi bahan plastik (diet plastik) yang mana diganti dengan bahan ramah lingkungan. Melakukan perubahan pola hidup dengan tidak menjadikan plastik sebagai bahan utama kegiatan di dalam rumah tangga ataupun kegiatan harian.
Mulai menolak menggunakan plastik secara berlebihan dan gunakan tote bag. Menerapkan berbelanja sesuai kebutuhan agar tidak berlebihan, menggunakan barang yang bisa digunakan berulang kali seperti membawa tempat makan dan minum sendiri.
Tidak menggunakan sedotan berbahan plastik, atau tidak menggunakan kresek hitam untuk bungkusan daging kurban pada saat lebaran Idul Adha nanti.
FYI, untuk teman – teman ketahui setiap tahun ada 1 Triliun kantong plastik sekali pakai yang digunakan di seluruh dunia. Belum lagi plastik plastik ini dapat membuat gunungan sampah yang mencemari air, udara dan komponen lainnya.
Seperti yang kita tau, butuh waktu yang sangat lama untuk alam melakukan penguraian sampah plastic. Bahkan bisa memakan waktu antara 50-100 tahun untuk terurai.
- Kurangi Belanja Online dan Batasi Penggunaan Kertas
Kurangi berbelanja secara ONLINE, karena setiap kemasan dalam belanja online menambah dan menghasilkan sampah dalam jumlah besar. Juga lakukan pembatasan penggunaan kertas dan berusaha menggantinya dengan bahan ramah lingkungan.
- Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca Melalui Meja Makan
Tentunya ada banyak cara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui meja makan kita. Sebagai contoh kita bisa saja melakukan dan memulai gaya hidup rendah karbon yang mampu mengurangi jejak karbon, emisi gas rumah kaca yang dilepaskan oleh pribadi atau kelompok dalam kegiatannya.
Saya yakin tak banyak yang tau jika makanan yang berasal dari hewani memiliki jejak karbon lebih tinggi apabila dibandingkan dengan nabati. Sebagai contoh, dalam produksi satu kilogram daging sapi mengeluarkan 60 kg gas rumah kaca (setara CO2), sebaliknya pada produksi kacang polong hanya 1 kilogram per kg.
Cara lainnya adalah dengan merubah pola makan yang lebih sehat. Dari analisis Status Ketahanan Pangan dan Nutrisi di Dunia (SOFI 2020) ada empat macam pola makan sehat yang bisa dicoba. Pertama, dengan pola makan flexitarian yang basisnya nabati, di mana jumlah protein hewani sedikit sampai sedang. Untuk yang Kedua adalah pola makan pescatarian, dengan konsumsi ikan dalam jumlah sedang tanpa pilihan daging lain. Selanjutnya bisa mengikuti pola vegetarian dengan susu dan telur dalam jumlah sedang, tanpa ikan ataupun daging. Terakhir bisa menggunakan pola makan vegan, dengan buah dan sayur serta sumber protein nabati.
Ada banyak solusi lain yang bisa dicoba semisal dengan dengan mengurangi limbah makanan dan memilih makanan ramah iklim.
- Mengelola sampah atau limbah
Mulai belajar mengelola sampah. Mana yang masih bisa dipakai, mana yang masih bisa di daur ulang atau melakukan DIY keren dari penggunaan barang bekas. Kamu bisa buat DIY untuk melengkapi kebutuhan di rumah dan usahakan untuk memperbaiki barang yang rusak sehingga kamu tak perlu membeli barang tau produk yang baru. Kecuali kalau memang tidak bisa digunakan lagi.
Jangan lupa untuk tidak membuang limbah atau bekas minyak goreng ke sembarang tempat. Limbah minyak goreng memiliki potensi menjadi agen pencemar ekosistem air dan tanah apabila minyak tersebut dibuang dekat dengan sumber air. Apabila minyak goreng bekasmu sudah tak layak pakai untuk keperluan memasak, kamu bisa menjualnya ke penadah minyak jelantah untuk kemudian diolah kembali menjadi produk ramah lingkungan
- Melakukan Kampanye dan Mengajak Gaya Hidup Ramah Iklim yang Berkelanjutan
Zaman sekarang tak bisa dipungkiri jika media sosial sangat berperan penting dalam kehidupan. Saya pribadi beruhana untuk mengkampayekan dan mengajak melakukan gaya hidup ramah iklim yang berkelanjutan melalui tulisan di blog ataupun di media sosial.
Meski sulit setidaknya apa yang dilakukan ini bisa menjadi contoh buat teman – teman sesama blogger ataupun teman – teman saya di media sosial. Sehingga diharapkan nanti apa yang saya lakukan bisa menular dan menghasilkan sesuatu yang positif. #TeamUpforImpact
Begitu pula dengan kalian yang juga bisa melakukan Langkah positif yang sama
Tentunya masih banyak cara lain yang bisa kita gunakan dalam mengungi dampak perubahan iklim. Mungkin terlihat sepele, tapi memberikan dampak positif untuk masa depan. Bagaimana dengan kalian ?
Bahwa kita saat ini sedang meminjam sumberdaya alam dari generasi masa depan, dengan demikian kondisi dan akses sumberdaya alam saat ini harus dapat dirasakan setidaknya oleh generasi mendatang, atau bahkan dengan kondisi dan akses yang lebih baik.
Menteri KLHK Siti Nurbaya.