Ada berbagai macam cara yang bisa dilakukan dalam menjaga bumi dan lingkungan di dalamnya. Sebut saja dengan melakukan penghijauan, daur ulang, mengurangi plastik, mengurangi dampak efek gas rumah kaca hingga memilih makanan ramah iklim.
Seperti artikel melestarikan hutan tak mudah, maka perlu di perjuangkan, diketahui jika perubahan iklim ini tentunya sudah menjadi masalah global, dan berbagai penganggulangan untuk mengatasinya butuh sinergi antar negara dalam upaya menurunkan gas rumah rumah kaca.
Tetapi memang tentu permasalahan ini tak hanya menjadi urusan negara, ini juga menjadi urusan tiap jiwa, orang dan setiap manusia yang ada di planet ini. Saya dan kamu tentunya juga bisa membantu mengatasi problem iklim sejak dari meja makan di rumah.
Masalah dari meja makan
Tak bisa dipungikiri jika emisi gas rumah kaca menjadi pemicu perubahan iklim, dimana 30% nya berasal dari pembuatan atau produksi dan konsumsi pangan di taraf global. Nilai 30% ini termasuk pada proses produksi pupu, pengolahan, pertanian, transportasi, ritel, pengelolaan makanan rumah tangga dan tentunya juga pembuangan limbah.
Faktor yang juga memberikan dampak terhadap iklim adalah energi yang digunakan dalam tahap pembuatan makanan, apakah menggunakan cara organic atau dengan menggunakan bahan kimia dan seberapa jauh panjangnya pengolahan makanan tersebut hingga sampai ke meja makan. FYI masakan yang diproduksi lebih dekat ke tempatnya dikonsumsi akan mengeluarkan emisi lebih sedikit terkait transportasi, lebih segar, dan membantu produsen lokal. Dengan adanya pengurangan jarak tempuh makanan tadi, berkurang pula kebutuhan untuk mengolah atau mendinginkannya guna mengurangi pembusukan.
Memang secara realita di lapangan, hingga detik ini terdapat bahan makanan di mana secara kuantitatif dan kualitatif tak mencukupi untuk suatu kawasan, sehingga perlu didatangkan dari provinsi dan kabupaten/ kota lain yang berjarak lebih jauh hingga bahkan melalui proses impor.
Tentunya dengan memahami bagaimana sumberdaya yang digunakan dalam membuat dan mengolah makanan tentu akan membuat para konsumen lebih aware terhadap sangkut paut antara makanan dan perubahan iklim sehingga hasil dan pilihan yang diambil akan lebih ramah dengan iklim bumi.
Solusi yang bisa dilakukan
Ada banyak cara mengurangi emisi gas rumah kaca yang melalui meja makan kita. Kamu bisa saja melakukan dan memulai gaya hidup rendah karbon yang mampu mengurangi jejak karbon, emisi gas rumah kaca yang dilepaskan oleh pribadi atau kelompok dalam kegiatannya.
Tak banyak yang tau jika makanan yang berasal dari hewani memiliki jejak karbon lebih tinggi jika dibandingkan dengan nabati. Sebagai contoh, dalam produksi satu kilogram daging sapi mengeluarkan 60 kg gas rumah kaca (setara CO2), sebaliknya pada produksi kacang polong hanya 1 kilogram per kg.
Cara lainnya adalah dengan merubah pola makan yang lebih sehat. Dari analisis Status Ketahanan Pangan dan Nutrisi di Dunia (SOFI 2020) ada empat macam pola makan sehat yang bisa dicoba. Pertama, dengan pola makan flexitarian yang basisnya nabati, di mana jumlah protein hewani sedikit sampai sedang. Untuk yang Kedua adalah pola makan pescatarian, dengan konsumsi ikan dalam jumlah sedang tanpa pilihan daging lain. Selanjutnya bisa mengikuti pola vegetarian dengan susu dan telur dalam jumlah sedang, tanpa ikan ataupun daging. Terakhir bisa menggunakan pola makan vegan, dengan buah dan sayur serta sumber protein nabati.
Ada banyak solusi lain yang bisa dicoba semisal dengan dengan mengurangi limbah makanan dan memilih makanan ramah iklim.
Krisis Iklim dan Pertanian, Pangan dan Kuliner
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengikuti webinar menarik tentang makanan ramah iklim ini. Melalui sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Omar Niode Foundation dengan tema Talkshow virtual Makanan Ramah Iklim dan Peluncuran E-Book Memilih Makanan Ramah Iklim +39 Resep Gorontalo.
Omar Niode Foundation sendiri merupakan sebuah organisasi nirlaba kecil yang turut berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, citra budaya, dan kuliner Nusantara, khususnya Gorontalo, di Indonesia dan mancanegara.
Webinar ini sendiri juga menghadirkan pakarnya, dipandu oleh presenter acara kuliner Noni Zara dengan nara sumber ibu Amanda Katili Niode (Climate Reality Indonesia), Ahli Teknologi Pangan, Zahra Khan, Pakar Kuliner senior William Wongso dan Nicky Ria dari Ketua Sobat Budaya.
Seperti biasa saya sangat tertarik dan menunggu Ibu Amanda Katili, sebab pada pertemuan saya sebelumnya saya sangat banyak mendapat informasi mengenai krisis iklim. Dari informasi ibu Amanda diketahui untuk tahun 2020 kemarin saja krisis iklim bumi sudah sangat parah. Dari data PBB ada 51.6 juta orang di dunia terkena dampak bencana alam semisal banjir, badai, kekeringan bahkan Covid-19.
Penyebabnya tentu saja karena kegiatan manusia yang berlebihan di berbagai bidang. Contoh saja tambang batubara, kebakaran lahan, proses produksi berlebihan, dan sebagainya seperti yang pernah saya ulas sebelumnya. Semua kegiatan itu mengeluarkan efek dan berdampak buruk serta membuat iklim bumi kian berubah. Salah satu dampak krisis iklim juga melalui sistem pangan. Jika sistem pangannya baik tentu hasilnya akan baik, sebaliknya jika sistem pangannya tidak benar tentu saja bisa mengakibatkan krisis kelaparan dan pandemi. Bisa dikatakan sistem pangan dari hulu ke hilir, dari produksi hingga konsumsi menyebabkan berbagai macam krisis.
Memang makanan adalah kehidupan, energi, keluarga, kasih sayang, komunitas, tradisi dan lainnya. Tetapi pada faktanya dalam mengkonsumsi makanan kita terlalu sering berlebihan dan ini juga diakui oleh Chef senior William Wongso. Menurutnya untuk manusia dewasa seharusnya hanya memiliki kebutuhan makan kurang dari 500 gram/hari. Sedangkan para penjual makanan jarang sekali mengetahui berapa banyak porsi makanan yang ia jual. Jadi kelebihan ini memberikan potensi makanan berlebih dan tentunya menjadi makanan terbuang di tempat sampah hingga menjadi limbah makanan.
Padahal jika dicermati, membuang makanan sama halnya dengan membuang uang, tenaga dan sumber daya lain semisal energi, lahan dan air yang dipakai dalam memproduksi makanan tsb. Makanan yang pada akhirnya dibuang di Tempat Pembuangan Akhir, saat mulai mengurai atau membusuk dan membuat gas penyebab krisis iklim akan terlepas.
Ada beberapa cara mengurangi limbah makanan, menurut FAO yaitu mengambil porsi makanan secukupnya tidak terlalu banyak, lalu memanfaatkan sisa makanan, atau bagian tanaman yang biasanya dibuang. Lalu berbelanja sesuai yang dibutuhkan saja termasuk sayur atau buah yang tidak sempurna bentuknya. Selain itu kita juga bisa menyimpan makanan dengan baik agar tak mudah busuk, berbagi atau sharing makanan dengan yang membutuhkan, serta menerapkan pembuatan kompos.
Jika dari hulu ke hilir mulai dari produksi, pengeolahan hingga ada dimeja makan dan dimanfaatkan serta dikonsumsi dengan baik maka itulah makanan ramah iklim.
Pada Kesempatan yang sama Sekretaris Omar Niode Foundation, bang Terzian Ayuba Niode menambahkan jika pada sistem pangan berkontribusi besar kepada krisis iklim yang sedang berlangsung di planet ini. Sistem pangan yang ada saat ini menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan menyebabkan sepertiga dari semua emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim. Belum lagi dengan adanya pandemic COVID-19 yang semakin membuktikan adanya kebutuhan mendesak untuk mengubah sistem pangan di dunia.
Makanan perlu diubah guna masa depan yang sehat bagi manusia maupun Planet Bumi. Salah satu caranya menurut Terzian adalah dengan mengurangi konsumsi daging serta makanan yang diproses, untuk kemudian mengarah ke makanan yang lebih berbasis nabati.
Chef William Wongso pun ikut menambahkan pernyataan Terzian yang mana tak harus menjadi vegetarian untuk sistem pangan yang baik tadi. Namun kita juga bisa mulai dengan mengurangi secara perlahan, sedikit demi sedikit lalu beralih ke sistem pangan dengan pola makan gizi seimbang.
Pemetaan 30.000 Kuliner Tradisional Nusantara dan Memilih Makanan Ramah Iklim
Sesi talkshow secara online ini selanjutnya adalah Pemetaan 30.000 Kuliner Tradisional Nusantara oleh mba Nicky Ria dari Ketua Sobat Budaya. Menurutnya dengan melakukan pemetaan kita bisa mengetahui ketersediaan kuliner di tanah air apa saja. Ada 30.000 kuliner yang terdata dan butuh 80 tahun untuk mencoba semua.
Metode atau cara yang digunakan adalah dengan melihat kekerabatan dari kuliner satu ke kuliner lainnya.
Saat ini hasil penelitian dari pihaknya sudah dipublish dalam sebuah database pustaka melalui website budaya-indonesia.org. yang berisi 70 ribu budaya di tanah air dan 30 ribu jenis kuliner tradisional yang ada di Indonesia.
Senada dengan mba Nicky, Ahli Teknologi Pangan Zahra Khan bersama ibu Amanda mencoba bersama mengembalikan panganan tradisional yang ramah iklim. Sebagai pelaku UMKM di Gorontalo, Mba Zahra berupaya agar makanan tradisional Gorontalo ramah iklim diketahui oleh banyak orang.
Hal ini pula yang membuat Omar Niode Foundation, berinisiatif mengenalkan pangan lokal ramah iklim lewat karya kolaborasi Ibu Amanda dan mba Zahra Khan melui sebuah buku dengan judul Memilih Makanan Ramah Iklim +39 Resep Gorontalo. Sesuai Namanya, isi buku ini fokus membahas makan tradisional khas Gorontalo.
Unduh Buku Memilih Makanan Ramah Iklim +39 Resep Gorontalo.
Jika diperhatikan di dalam buku ini pada umumnya makanan sehat dan ramah iklim itu tak harus mahal dan bahannya mudah didapatkan.
Pada saat yang sama Chef William Wongso juga sangat mendukung upaya-upaya pelestarian budaya kuliner tanah air seperti yang dilakukan oleh Omar Niode Foundation. Walaupun memang pada era sosial media dan internet seperti saat ini, satu hal yang tidak dapat kita lakukan adalah meng googling rasa, experience itu harus dicoba langsung. Tapi kita dapat menginformasikan budaya kuliner bangsa Indonesia yang beragam ini lewat internet, dan menarik orang untuk mencoba tambahnya.
Chef William juga mengatakan jika dengan makin majunya peradaban kita tidak boleh mengabaikan budaya kuliner Bangsa Indonesia. Selain melestarikan, kita wajib utk meningkatkan citra Tradisi Kuliner Indonesia, agar bisa masuk dan dikenal dalam peta kuliner dunia.
Berubah Dari Sekarang
Jujur saja sebenarnya banyak sekali ilmu yang bisa dipelajari dari webinar ini. Saya sampai mengulangi video acaranya melalui halaman facebook Omar Niode Foundation dan rasanya ingin sekali menampilkan semua pesan pembicara melalui artikel ini.
Namun paling penting adalah mulai berubah menjadi lebih baik dari apa yang hadir di meja makan kita. Memlilih makanan ramah iklim tentu tak mudah tapi belum tentu jika kita mencobanya. Makan tidak berlebihan, ubah pola makan menjadi cerdas iklim dan hindari membuang makanan.
Pola makan cerdas iklim dengan memperbanyak memakan biji-bijian, buah-buahan dan sayuran (nabati) dan mengurangi daging, agar emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan lebih sedikit. Bisa juga dengan membeli lebih banyak produk lokal dengan transportasi yang tidak terlalu jauh. Mengurangi limbah makanan juga berarti tidak melipatgandakan emisi GRK yang diambil untuk menghasilkan makanan yang benar-benar dikonsumsi. Juga penting mengetahui apakah makanan diproduksi dengan menggunakan teknik pertanian cerdas iklim, yaitu strategi pertanian untuk mengamankan ketahanan pangan berkelanjutan dalam kondisi perubahan iklim.
Mari sebar kebaikan untuk bumi melalui makanan ramah iklim