Masih ingat betul dalam benak dan ingatan saya bagaimana kabut asap yang terjadi pada tahun 1997 silam membuat berbagai aktifitas masyarakat Riau terhenti. Kabut asap yang bersumber dari kebakaran hutan yang terjadi di bumi melayu Riau ini sukses menghentikan saya untuk melakukan proses belajar mengajar di sekolah karena harus diliburkan. Bukan saya saja yang dirugikan, tetapi banyak masyarakat, petugas pemadaman dan komponen lainnya yang juga ikut terkena imbas dan dampaknya.
Semenjak zaman orde baru tersebut hingga kini, Provinsi Riau sebagai tempat saya tinggal hampir tiap tahun selalu mengalami kebakaran hutan dan lahan. Masyarakat provinsi ini mengalami berbagai kerugian materil ataupun moril seperti banyaknya masyarakat yang terkena penyakit ISPA, adanya korban jiwa, kerugian di sisi ekonomi dan masalah pendidikan yang harus terkena dampaknya.
Bisa dikatakan hanya 1 % saja terjadinya kebakaran hutan disebabkan oleh alam. Sisanya ? tentu saja 99 % ulah manusia yang menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan. Alasan – alasan seperti membuka lahan baru, perubahan status fungsi hutan menjadi perkebunan, faktor ekonomi masyarakat dan segudang alasan lainnya menjadi penyebab kebakaran hutan terus – terusan. Belum lagi jika perusahaan turut andil dalam kegiatan – kegiatan ini dan pemerintah kucing – kucingan, tak jarang kebakaran hutan yang terjadi menjadi semakin luas.
Bumi yang Semakin Tua
Pembakaran lahan yang saya lamunkan tadi nyatanya menjadi salah satu penyebab bumi menjadi sekarat dan tua saat ini. Setidaknya itu sesuai dengan paparan ibu Dr. Amanda Katili Niode sewaktu memaparkan bagaimana kondisi bumi saat ini pada acara “Forest Talk With Blogger Pekanbaru – Menuju Hutan Lestari” yang berlangsung di Grand Zuri Hotel Pekanbaru 20 Juli 2019 lalu.
Melalui acara yang diadakan oleh Yayasan Doktor Syahrir dan The Climate Reality Indonesia ini saya sangat sependapat dengan ibu Amanda, bahwa bencana – bencana yang terjadi diakibatkan oleh kegiatan – kegiatan manusia yang berlebihan ditambah dengan emisi gas rumah kaca yang membuat pemanasan global berdampak pada bumi yang semakin sekarat beserta elemen di dalamnya.
Di Amerika sana, beberapa tahun terakhir malah harus menderita karena suhu yang terus turun hingga -40 derajat celcius akibat suhu yang terus memanas. Dekat dengan Indonesia, Negara Australia terus mencapai suhu panas sampai +50 derajat celcius. Dingin tak enak, panas apa lagi. Entah bagaimana cara mereka bertahan dalam mengatasi perubahan iklim yang terjadi.
Perubahan cuaca dan iklim ekstrem tak hanya ada di Amerika dan Australia saja. Hampir secara global benua yang ada di bumi terkena dampak perubahan ini. Mencapai 60 Juta orang secara global dan termasuk negara kita yang sejak 2018 sudah mendapatkan bencana sebanyak 2481 kasus, dimana ada 97% hidrometeorologi dan 10 Juta orang yang harus menderita dan mengungsi. Jelas betul banyak bencana alam yang terjadi akibat dari perubahan ekosistem. Lihat saja.. bencana longsor, banjir dan banyak bencana lain selalu menghantui negara ini. Di beberapa daerah malah kerap terjadi kekeringan padahal sudah masuk masa musim penghujan.
Lebih spesifik di kota tempat saya dilahirkan juga begitu, bukan banjir bandang ataupun rawan kekeringan, tetapi bencana kabut asap akibat dari kebaran hutan yang meluas dan terus terjadi. Ibarat ikan Salai di asap kami terus terpapar oleh asap, tetapi terus berusaha berjuang untuk tetap hidup dan sehat.
Apa penyebab itu semua ? Menurut Ibu Amanda, semua yang terjadi itu tentu saja karena ulah manusia yang tamak dan berlebihan. Eksploitasi sumber daya alam. emisi gas rumah kaca, pemanasan global dari industri membuat perubahan iklim yang berdampak bencana dan penghidupan kepada setiap komponen yang ada di bumi. Jika ditelaah ulah manusia ini sendiri terjadi di berbagai macam bidang. Sebagai contoh pada bidang industri pertanian yang memberi dampak kebakaran hutan karena perluasan lahan, atau merubah fungsi hutan dengan membakar (karena lebih murah). Industri energi juga demikian. hasil bumi seperti batu bara dan minyak bumi terus di ambil tanpa henti. Industri – industri bidang transportasi pun sama, masih kurang dan belum menggunakan energi terbarukan, hingga kini masih banyak menggunakan bahan – bahan energi yang tidak ramah dengan alam. Banyak juga industri – industri lain yang juga turut andil dalam perubahan iklim dan menambah emisi gas rumah kaca. Perlu tindakan khusus dan upaya agar bencana tidak terus terjadi. Jangan sampai juga perubahan iklim yang terus menjadi hangat membuat mencairnya permafrost (lapisan es yang tetap membeku di bawah tanah di daerah kutub) terus menerus.
Dari presentasi ibu Amanda, diketahui penggunaan lahan/ kehutanan menyumbang 61,6% emisi gas rumah kaca. Tentu saja itu bukan angka yang kecil, hutan tidak digunakan sebaiknya dan menjadikannya sebagai elemen penting bumi yang harus dijaga. Apalagi hutan sebagai sumber paru – paru dunia, juga sebagai sumber ketahanan pangan. Selain hutan, asal emisi berasal dari industri energi, pertanian, limbah, berbagai macam industri dan penerbangan/perkapalan.
Tetapi mungkin yang tidak saya sadari dan teman – teman sadari, produksi fashion nyatanya juga menjadi satu pencemar dan pembuat perubahan iklim terbesar di dunia. Industri ini menyumbang 10% emisi karbon global dari proses menciptakan, membuat hingga bisa digunakan pada produksi di pabriknya. Pengolahan dan produksi ini ikut andil dalam memperparah global warming yang terjadi dewasa ini. Emisi yang dihasilkan berasal dari asap produksi pabrik pakaian yang membuat polusi adn mencemari air, lingkungannya. Ini adalah penyumbang global warming yang terbesar kedua setelah industri minyak bumi. Dikutip dari Forbes 2015, yang paling jahat ada banyak pepohonan yang harus menjadi korban hilangnya kelestariannya hanya untuk membuat dan menghasilkan bahan kain seperti viscose, rayon, lyocell, dan modal. Sebesar 70 juta pohon lebih yang terus ditebang untuk mengikuti kebutuhan tren manusia agar tampil keren dan fashionable tiap harinya.
Saya pribadi dan juga masyarakat Riau tentu saja sudah sering merasakan efek dari kegiatan – kegiatan yang merugikan alam. Bagaimana tiap tahun kami yang berada di Riau terus berusaha menghadapi kebakaran hutan dan asap. Selain itu efek pembangunan infrastruktur yang tidak melihat lingkungan sekitar juga berakibat banjir walaupun memang tidak sampai masuk media nasional, seperti Kota Pekanbaru yang kini juluki sebagai kota “Berkuah”, padahal seharusnya kota ini menjadi “bertuah”.
Di bidang kesehatan juga tidak bisa dianggap remeh, hingga April 2019, Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru sudah mencatat 178 kasus DBD dan menurut prediksi akan terus bertambah. Banyak hal – hal lainnya, seperti yang terjadi di kabupaten Siak dimana pada awalnya banyak lahan pertanian namun kini banyak berkurang. Akibat perubahan status lahan sawah menjadi perkebunan sawit, banyak warga yang terkena dampaknya dan dirugikan, mulai dari sisi ekonomi hingga ekosistem di sekitar lahan sawit. Semua karena apa ? semua karena kurangnya kepedulian pemerintah dan masyarakatnya sendiri sehingga bukan tidak mungkin ini bisa saja menyebabkan instabilitas politik dan sosial yang menjadi bagian sistem global rentan iklim.
Namun yang pasti penyebab, akibat dan dampak dari perubahan iklim secara global bisa dicari solusinya. Menurut ibu Amanda salah satunya dengan upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi dengan mengupayakan, memperlambat proses perubahan iklim, juga dengan mengurangi level gas-gas rumah kaca di atmosfera dan mengurangi emisi dari kegiatan manusia. Sedangkan melalui adaptasi adalah mengembangkan berbagai cara untuk melindungi manusia dan ruang dengan mengurangi kerentanan terhadap dampak iklim dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim global.
Berjuang Walaupun Tak Mudah
Tak semuanya negatif, Ibu Amanda sebagai Manager The Climate Reality Indonesia menjelaskan bahwa tren positif perubahan terus berlangsung. Sebagai contoh di Indonesia tepatnya di Pulau Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur yang sejak tahun 2010 membuat program melistriki Pulau Sumba dengan energi terbarukan. Targetnya, rasio elektrifikasi di Sumba ini mencapai 95% pada tahun 2025 nanti yang dipasok dari 100% energi terbarukan. Program ini sendiri digagas oleh pemerintah bersama masyarakat sipil dan swasta dengan membentuk Sumba Iconic Island. Pastinya program ini dapat mendorong perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal yang berkeadilan. Dan ini juga dapat dijadikan sebagai contoh dalam pengembangan energi terbarukan di daerah lain di Indonesia lainnya dan dunia.
Kegiatan positif lainnya seperti mengurangi menggunakan plastik (diet plastik) di seluruh dunia melalui berbagai kampanye. Merubah pola hidup dengan tidak menjadikan plastik sebagai bahan utama kegiatan di dalam rumah tangga ataupun kegiatan sehari – hari. Mulai menolak menggunakan plastik secara berlebihan seperti menggunakan tote bag, menerapkan berbelanja sesuai kebutuhan agar tidak mubazir, menggunakan barang yang bisa digunakan berulang kali seperti membawa tempat makan dan minum sendiri. Bisa juga mendaur ulang sampah atau barang bekas menjadi produk baru yang memiliki nilai dan manfaat. Kita juga bisa mengolah sampah dapur menjadi kompos sehingga mengembalikan zat organik ke alam untuk penyuburan tanah. Tidak menggunakan pipet berbahan plastik, atau tidak menggunakan kresek hitam untuk bungkusan daging kurban pada saat lebaran Idul Adha nanti. Wajar saja, buat teman – teman ketahui setiap tahun ada 1 Triliun kantong plastik sekali pakai yang digunakan di seluruh dunia. Belum lagi plastik plastik tersebut dapat membuat gunungan sampah yang mencemari air, udara dan komponen lainnya.
Industri otomotif pun tak mau kalah, produksi kendaraan tak lagi banyak menggunakan energi tak ramah lingkungan. banyak produksi sudah beralih ke hybrid dan mobil listrik, walaupun masih perlu waktu dan infrastruktur pendukung. Lalu bagaimana dengan kesehatan dan pola makan ? menurut ibu Amanda yang juga seorang penulis dan traveler ini, berdasarkan study Oxford Universty pada tahun 2015 dengan melakukan peralihan global ke pola makan dengan mengurangi asupan daging dan mulai menambah buah – buahan dan sayur – sayuran di dalam list makanan sehari hari. Ini dapat menyelamatkan 8 juta hidup manusia pada 2050 nanti, juga menghemat biaya kesehatan dan kerusakan iklim sebesar US$1,5 triliun.
Bagaimana dengan fashion ? tentunya juga bisa dengan memulai beralih ke slow fashion dengan menggunakan bahan – bahan yang ramah lingkungan. Dengan menggunakan pewarana alami dan tidak mengandung bahan kimia. Hindari juga membeli baju yang hanya digunakan untuk beberapa kali saja, untuk mengurangi sampah pakaian.
Ada juga banyak kearifan lokal tradisional yang kembali diangkat untuk bisa menjaga kelestarian hutan dan lingkungan. Banyak juga perkembangan kemajuan teknologi yang ramah lingkungan yang terus dikampanyekan.
Bagaimana dengan saya ? Mulai berubah dari diri sendiri, intropeksi dengan apa yang saya lakukan terdahulu dan kemudian terus mengkampayekan melalui tulisan di blog ataupun di media sosial. Walaupun sulit setidaknya apa yang dilakukan ini bisa menjadi contoh buat teman – teman sesama blogger ataupun teman – teman saya di media sosial. Sehingga diharapkan nanti apa yang saya lakukan bisa menular dan menghasilkan sesuatu yang positif. Apalagi jika sudah sepakat bersama untuk melakukan mitigasi dan adaptasi, Insha Allah lancar. Sebagai contoh saat kami lintas kota provinsi bahkan dunia membuat petisi tentang kabut asap pada 2015 lalu, dan benar – benar berhasil dimana membuat pemerintah turun langsung ke lapangan melihat dan melakukan pencegahan.
Mengelola Hutan dan Lanskap Berkelanjutan
Lagi – lagi kebakaran hutan yang saya bicarakan tadi nyatanya hadir kembali di sesi kedua saat ibu Dr. Atiek Widayati dari Tropenbos Indonesia memulai talkshow dengan topik pengelolaan hutan dan lanskap berkelanjutan. Saya tidak terkejut, bagaimana kebakaran hutan di lahan gambut Riau dan juga daerah lainnya di Indonesia merugikan banyak pihak. Mulai dari luasnya area hutan yang terbakar hingga berapa biaya yang harus di keluarkan untuk menyelesaikan kebarakan hutan ini. Belum lagi keberadaan hutan selain sebagai penghasil oksigen dan menyerap karbon dioksida yang ada di udara, juga menjadi penyeimbang ekosistem yang kita miliki.
Selain kebakaran hutan masih ada contoh lainnya seperti banjir bandang, longsor ataupun bagaimana satwa seperti harimau bisa menyerang pemukiman yang tentu terjadi karena banyaknya deforestasi, degdarasi hutan dan adanya konversi hutan. Singkatnya deforestasi adalah perubahan permanen dari areal berhutan menjadi areal tidak berhutan atau tutupan lainnya sebagai akibat dari aktifitas manusia. Sedangkan untuk degradasi hutan bisa dikatakan sebagai bentuk perusakan atau penurunan kualitas hutan (tutupan, biomasa dan/atau aspek lainnya).
Belum lagi konversi hutan yang terus terjadi. Di Riau saja dalam skala besar penebangan hutan secara massive ataupun secara liar (ilegal log) terus terjadi apalagi untuk di jadikan hutan taman industri atau lahan konsesi dengan merubah fungsi hutan menjadi perkebunan seperti sawit, karet, akasia dan lainnya. Ya Riau memiliki perkebunan sawit rakyat terbesar di dunia, bahkan sampai sawahpun bisa berubah statusnya menjadi areal sawit. Sedangkan dalam skala kecil biasanya konversi dilakukan oleh masyarakat misalnya untuk membuat ladang (berpindah), pertanian lahan kering atau membuat kebun juga menunjang berbagai kegiatan masyarakat lainnya.
Sayangnya sebagian besar perkebunan sawit provinsi ini di tanam diatas lahan gambut. Besar lahan gambut di Riaupun terbesar di Sumatera dengan besar 5 Juta Hektar. Dan rata – rata lahan gambut di Riau dalam kondisi kritis. Perubahan lahan di hutan rawa gambut telah merusak ekosistem. Padahal dengan adanya hutan biomasa vegetasi (penyerapan karbon dari CO2 di udara) pastinya berjalan dengan baik. Sedangkan kenyataannya perubahan lahan dan hutan membuat berkurangnya bio masa (hilang/ menurunnya penyerapan CO2 di udara).
Sementara itu di daerah lain di negara ini, Papua berdasarkan data Badan Planologi KLHK juga mengalami deforestasi hebat. Total deforestasi dalam kurun waktu 5 tahun sejak 2017 sebesar 773.590,84 Hektar dengan rata – rata 193.397,71 Hektar. Hutan Papua merupakan hutan alam terluas di Indonesia yang menjadi rumah bagi jutaan mahluk hidup. Keberadaan hutan tak hanya sebagai bagian dari pemulihan alam, tetapi juga menopang masyarakat lokal secara kultural. Hutan Papua juga merupakan hutan hujan tropik dataran rendah yang memiliki karakteristik berbeda dari hutan lainnya yang ada di Indonesia, baik dari ragam hayati didalamnya ataupun biogeografisnya.
Pengelolaan Hutan dengan Lanskap Berkelanjutan
Ada berbagai upaya dan solusi menurut ibu Atik untuk mengurangi dan mencegah dampak dari deforestasi, degdarasi hutan dan konversi hutan. Dengan adanya kerjasama dari berbagai pihak, baik pemerintah, LSM, NGO, Sektor Swasta, perusahaan perkebunan dan masyarakat untuk mendukung pelestarian hutan. Dengan memahami konteks lanskap mulai dari makhluk hidup yg ada di hutan, sumber air dan komponen ekonomi masyarakat lokal menjadi berbagai komponen yang saling berkaitan. Mulai melakukan berbagai program seperti penghijauan, restorasi, penanaman, agroforestri dan lainnya. Seperti yang di lakukan Tropenbos Indonesia yang mulai melakukan restorasi dan kegiatan go green lainnya sejak akhir 1986 di Kalimantan Timur yang disebabkan meningkatnya keprihatinan terhadap tingginya laju kerusakan hutan tropis di Indonesia.
Bagaimana bila masyarakat umum juga ingin ikut berkontribusi ? Tentunya juga bisa. Menurut ibu Atik, mendukung pelestarian hutan dengan tidak menebang secara sembarang tanpa memikirkan akibatnya. Membuka lahan dengan tidak membakar di atas lahan gambut, atau masyarakat bisa mendukung praktek – praktek yang berkelanjutan. Selain itu bisa juga menggunakan hasil hutan seperti rotan, madu, dan bumbu dapur yang bisa digunakan kemudian. Alangkah baiknya juga bisa membantu ekonomi masyarakat yang ada di lingkungan hutan dan memanfaatkan jasa ekosistem berkelanjutan.
Saya sendiri sebagai blogger sejak mulai terkena dampak kabut asap karena kebakaran hutan, terus berubah dan meyakinkan diri untuk bisa menjaga hutan yang ada. Melalui berbagai kampanye melalui blog dan media sosial serta mengajak teman – teman untuk berbuat kerja nyata seperti kampanye go green menanam pohon.
Hutan dan lanskap adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Meski permasalahan hutan tetap memberikan imbas kepada masyarakat luas. Solusinya adalah tetap mengembalikan ‘fungsi’ hutan dan mendukung praktek-praktek berkelanjutan. Saya, teman – teman dan masyarakat bisa terus ikut berkontribusi terhadap perbaikan dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan dapat ‘langsung’ ataupun ‘tidak langsung’. Pada akhirnya masyarakat juga yang merasakan manfaat terjaga nya hutan dan adanya hutan yang lestari.
Pohon dan Ekonomi Kreatif
Pada sesi ketiga kembali Ibu Dr. Amanda Katili Niode tampil menggantikan ibu Murni Titi Resdiana (Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim). Dengan topik pembahasan pohon dan ekonomi kreatif, ibu Amanda bercerita bagaimana dan apa saja yang harus dilakukan untuk memanfaatkan bahan bahan yang berasal hutan untuk ekonomi kreatif. Sejatinya pohon yang utama dari hutan bisa menjadi dan menghasilkan sumber serat, sumber pewarna alam, bahan kuliner, furniture, sumber barang dekorasi juga pohon sebagai sumber minyak atsiri dan turunannya. Rotan yang mana merupakan hasil hutan juga banyak manfaatnya untuk ekonomi kreatif. Mulai dari fashion, kerajinan tangan hingga furniture banyak yang terbuat dari rotan.
Tak hanya rotan, bagi kamu yang pernah mendengar Lontar (salah satu jenis palem yang berdaun layaknya kipas dengan tinggi mencapai 30 m) juga banyak digunakan di bidang fashion, musik dan kerajinan. Bahkan air nira yang dimiliki lontar biasanya bisa dikonsumsi langsung atau dibuat menjadi gula, selain itu juga digunakan dengan difrementasikan menjadi arak dan cuka. Ada juga daun Jati yang bisa diolah menjadi pewarna natural juga menjadi pembungkus pada makanan. Belum lagi pohon atau tanaman hutan lainnya, kulit secang, indigofera (tarum), kelapa, nipah, hingga buah mengkudu bisa dimanfaatkan. Ragam kegunaannya, mulai sebagai pewarna alami, makanan/ minuman, pakan ternak, bioethanol, alat keperluan rumah tangga juga segudang manfaat lainnya. Semua itu berasal dari bahan bahan pepohonan/ tanaman mulai dari daun, buah, batang dan elemen – elemen lainnya.
Dari ibu Amanda juga, saya baru tau jika Kaliandra merah yang seperti tanaman semak ini bisa menjadi bahan energi terbarukan. Sumber olahan palet dari kayunya bisa menjadi bahan EBT biomassa pembangkit listrik hingga 10 MegaWatt yang ramah lingkungan dari pada menggunakan batu bara. Begitu pula dengan serat nanas, serat eucalyptus, serat bambu bahkan serat pelepah pisang yang berguna sebagai bahan textil atau bahan celana jeans. Semua serat – serat ini ada di negara kita, di hutan kita, Indonesia.
Pada acara Forest Talk ini saya juga dapat melihat langsung bahan – bahan tersebut jadi dan tertuang di dalam sebuah kain, tenun, batik ataupun produk textil lainnya. Salah satunya beberapa produk kain atau tenun yang ada ditampilkan di beberapa meja yang ada di tempat acara ini. Saya sempat mengobrol sedikit dengan mas Hendik dan Mbak Gina yang merupakan salah satu bagian dari panitia Yayasan Doktor Sjahrir. Dari sana pula saya baru tau jika kain atau tenun yang ditampilkan menggunakan bahan pewarna alami sesuai dengan dikatakan ibu Amanda.
Jika dilihat dan dipandang pewarna alaminya lebih menarik dan authentic ditambah dengan hasil tangan – tangan lincah pengrajin yang membuatnya. Tentunya ini semua bisa mendorong masyarakat dan pelaku usaha untuk memanfaatkan hasil hutan dengan produk – produk yang ramah lingkungan. Dengan menghasilkan produk unggulan desa, potensi ecoproduct, dan juga melakukan pemberdayaan masyarakat ddriesa bukan tak mungkin keterampilan terus meningkat, investor dan akses market terbuka luas.
Di Riau bahan bahan dari hutan juga banyak di olah, seperti yang dilakukan suku talang mamak dengan membuat sedotan dari bahan Resam. Sedotan ini terbuat dari hutan alami atau hutan adat yang ada di talang Mamak. Otomatis dengan menggunakan resam kita dapat meningkat pula ekonomi kreatif suku setempat, dan yang pasti ramah lingkungan dan mengurangi menggunakan sedotan berbahan plastik.
Desa Makmur Peduli Api dan Desa Batu Gajah.
Mendengar nama makmur peduli api pada awalnya membuat saya berpikir kalau mereka adalah orang – orang yang berjibaku memadamkan api selama terjadi kebakaran hutan. Tetapi nyatanya berdasarkan dari paparan bapak Tahan Manurung dari Asia Pulp Paper (APP) Sinar Mas adalah Desa Makmur Peduli Api (DMPA) bukan itu saja tetapi merupakan sebuah perwujudan dari kebijakan konservasi hutan dengan melibatkan pada masyarakat adat dan lokal secara positif dalam usaha mengatasi konflik sosial dan juga pemberdayaan masyarakat sekitar hutan secara sosial – ekonomi. Singkatnya merupakan sebuah program yang diinisiasi oleh APP agar masyarakat dan desanya dapat berperan penting di dalam pengelolaan hutan lestari dengan diiringi pencapaian kemakmuran secara bersama dan berkelanjutan.
Target Program DMPA di bumi melayu Riau sendiri terbentang selama lima tahun di mulai dari 2016 lalu hingga nanti tahun 2020 sebanyak 236 desa dengan total budget 47,20 Miliar. Ada berbagai kegiatan DMPA di Riau yang sudah berjalan seperti panen cabe gapoktan di Basilam Baru, pertanian jagung di Lipat Kain Utara, peternakan sapi di Sukajadi, nelayan di Sungai Kampar , Focus Group Diskusi perencanaan program DMPA, panen cabe desa Batu Teritip, juga peternakan sapi yang bakal kami kunjungi di Batu Gajah.
Pemberdayaan DMPA selain meningkatkan ketercukupan pangan di desa – desa DMPA juga banyak menghasilkan berbagai produk pangan, olahan dan berbagai kerajinan yang dapat membantu pendapatan masyarakat penerima manfaat. Alhamdulillahnya beberapa produk pangan itu ada di goodie bag ramah lingkungan yang diberikan pihak panitia penyelenggara Forest Talk sehingga saya bisa mencobanya.
Setelah pemaparan bapak Manurung selesai, saya dan teman – teman blogger langsung menuju Desa Batu Gajah, Kec. Tapung, Kab. Kampar Provinsi Riau, yang merupakan DMPA terdekat dari kota Pekanbaru untuk field trip. Agar bisa sampai ke desa ini membutuhkan waktu hingga 2 jam dengan menggunakan bus yang sudah disiapkan. Perjalanan sendiri dilalui dengan dihiasi pemandangan Hutan Taman Industri (HTI) di area lahan konsesi PT. Perawang Sukses Perkasa Industri (PSPI) di distrik Petapahan. Jalan masuk menuju desa ini belum di aspal yang membuat perjalanan kami cukup menantang dan berdebu. Untungnya cuaca tidak sedang hujan atau setelah hujan, sehingga jalanan tetap kering.
Setelah melewati jalan yang tak berujung, akhirnya terlihat dari jauh kerumunan masyarakat yang sudah sejak tadi menunggu kami datang. Kami disambut masyarakat lokal dan lalu melanjutkan makan siang bersama. Setelah selesai makan siang, kami pun melanjutkan kegiatan mengenal desa Batu Gajah dengan mendengar langsung kata sambutan dari masyarakat setempat, setelah sebelumnya di pihak Yayasan Doktor Sjahrir mengutarakan maksud dan tujuan kami datang yang diwakilkan oleh bang Amril Taufik Gobel.
Dari cerita dan ngobrol ringan ini, diketahui kerjasama msyarakat dan PT. PSPI dalam program DMPA menghasilkan berbagai progam yang di antaranya adalah program peternakan sapi, pertanian, seperti tanaman jagung, ubi, tanaman cabai, dan perikanan seperti, pembuatan alat penangkap ikan (bumbung). Semua program yang dibuat berjalan dengan baik, malahan kami juga langsung dapat menikmati hasilnya, seperti jagung, walaupun pada saat kami datang pertanian jagung belum maksimal akibat cuaca panas dan terkendala air di lokasi tanam (diprediksi Agustus hingga Desember curah hujan cukup). Sementara itu program yang berjalan dengan baik adalah ternak sapi, pertanian cabai dan pembuatan bumbung.
Untuk ternak sapi sudah berjalan dua tahun belakang, dengan sistem memanfaatkan sapi. Salah seorang warga yang menjelaskan, berawal hanya mendapat satu ekor sapi hingga menjadi tiga dan enam ekor sapi. Dari enam ekor tadi, yang satu ekor (yang melahirkan) lalu digulirkan kepada masyarakat lainnya. Tentunya sesuai dengan saran dan nilai dari ketua kelompok. Hingga kami datang ke desa ini penerima manfaat bantuan sebanyak 18 ekor sapi.
Holtikultura cabai juga menjadi primadona di desa yang asal usulnya dari perjanjian antara gajah dan masyarakat ini. Setidaknya selain untuk meningkatkan ketercukupan pangan di desa sendiri, cabai juga menjadi pemasok terbesar di Kecamatan Tapung. Tentunya ini merupakan prestasi tersendiri dari desa binaan DMPA.
Setelah ngobrol ringan saya dan teman – teman lalu melanjutkan kegiatan dengan melihat langsung bagaimana proses ataupun pengolahan bahan hutan yang dijadikan buah tangan kerajinan. Banyak pengolahan hasil hutan yang dilakukan oleh ibu – ibu di desa ini, salah satunya adalah membuat tudung saji dengan menggunakan bahan bambu. Selain itu warna yang digunakan untuk mewarnai dan melukis menggunakan bahan alami seperti ampas dari jeruk nipis. Sambil melihat bagaimana pembuatannya, sesekali ibu itu curhat karena bahan bambu kini sulit ditemukan di sekitar desa.
Tak hanya mengolah kerajinan tangan, ada juga ibu – ibu yang sedang mengolah hasil hutan selain pohon lengkap beserta alat masaknya, seperti pembuatan keripik tempe yang gurih. Harga yang ditawarkan juga cukup murah, 10 ribu Rupiah saja untuk tiap bungkusnya. Keripik ini selain untuk memenuhi ketercukupan pangan juga dipasarkan keluar desa Batu Gaja.
Kegiatan kami selanjutnya adalah bagian serunya. Dengan melihat secara langsung bagaimana ternak sapi yang menjadi unggulan desa. Bagi teman – teman yang tidak biasa melihat sapi, tentunya rada – rada takut dan grogi. Apalagi saat kami datang, ada ibu – ibu yang di “seruduk” sapi karena keramaian yang kami buat. Di lain pihak, sebagian orang yang sudah sering melihat sapi dari dekat seperti saya mungkin ga ada bedanya. Saya juga mirip sapi ? hahahahaha.
Dari desa inilah saya dan teman – teman blogger akhirnya tau, bagaimana pemberdayaan masyarakat, pengelolaan hutan lestari yg berkelanjutan untuk kemakmuran bersama. Dengan adanya kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan mampu menghasilkan peningkatan pendapatan masyarakat dan juga memenuhi ketercukupan pangan di desa.
Finally akhirnya selesai juga tulisan saya, semoga ilmu dan pengalaman tentang bagaimana melesetarikan hutan ini bisa menginspirasi teman – teman yang membaca. Juga ikut menyebar kebaikan untuk hutan lestari walaupun tak mudah, maka perlu diperjuangkan. Hutan sebagai paru – paru dunia harus segera dikembalikan fungsiya. Perlu reboisasi hutan secara massive. Apalagi Hutan itu penting untuk seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini, dan kita sebagai manusia juga bergantung dengan hutan. Hutan juga menghasilkan oksigen yang kita hirup setiap hari. Tak pernah terbayangkan jika nanti tanpa adanya oksigen makhluk hidup yang ada bumi ini akan terancam punah dan mati. Lestari Hutan !
“Bahwa kita saat ini sedang meminjam sumberdaya alam dari generasi masa depan, dengan demikian kondisi dan akses sumberdaya alam saat ini harus dapat dirasakan setidaknya oleh generasi mendatang, atau bahkan dengan kondisi dan akses yang lebih baik.” – Menteri KLHK Siti Nurbaya.
Terima kasih saya ucapkan dengan terselenggaranya acara ini oleh Yayasan Doktor Sjahrir (mas Hendik dan Mbak Gina). Terima kasih dan selamat ulang tahun ke 10 The Climate Reality Indonesia. Juga kepada ibu Dr. Amanda Katili Niode (Manager The Climate Reality Indonesia), ibu Dr. Atiek Widayati (Tropenbos Indonesia), ibu Murni Titi Resdiana (Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim), bapak Tahan Manurung dari APP dan juga abang moderator Amril Taufik Gobel, travel blogger kece mbak Katerina serta seluruh teman – teman blogger yang hadir.
Terima kasih juga sudah diberikan kemenangan dalam lomba live instagramnya, alhamdulillah rezekinya bermanfaat juga 😀
Duh, sampah plastik memang sesuatuuu ??? tulusinnya manfaat banget bang..
Pas banget event ini diadakan di kotamu ya bang, suai dengan banyaknya kejadian yang menimpa Riau. Bang Andrew juga keren pengalamannya, ternyata sangat aktif dan penuh inisiatif mewujudkan wacana untuk lestari hutan.
iya mba kate 😀 maksi banyak udah diberikan kesempatan ya
Memang harus dijaga dari tangan yang tidak bertanggung jawab
Bener banget mas. setuju
kenapa aku jadi kepo dengan peristiwa asap tahun 1997 yak, ndak kamu ndak mbak oci bahas nya ttg itu di awal haha…
apakah lebih parah ketimbang tahun 2015 asap nya ?
btw, acara tanggal 20 juli 2019 kemarin emang luar biasa. Seru! 🙂
iya, dulu parah ca. kaya silent hill